Ada
sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin
seputar pembatal-pembatal puasa.
Di
antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara
para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan
tidak dibangun di atas dalil.
Melalui
tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap
sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian.
Keterangan-keterangan
yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan
-cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa
para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yang
bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1.
Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa,
dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya.
Begitu
pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan
sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang
pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak
puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui
hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan
karena terpaksa).”
Kemudian
beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang
menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا
إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya
Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena
tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits
yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu
pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum
kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa.
Maka
hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan
pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan
yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah apabila orang
tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu
a’lam.
Sehingga
orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu
yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan
membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh
Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah
Orang
yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya.
Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ
صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barang
siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia
untuk mengganti puasanya.
Dan
barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti
puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya,
dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)
Oleh
karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya
tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena
hal ini akan membatalkan puasanya.
Dan
jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi
dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut
tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3. Menelan ludah
Menelan
ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
“Tidak
mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam
hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat
memberatkan.
Adapun
dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan
tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu
memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Pengambilan darah
Keluar
darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun
dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh
Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:
a.
“Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar
darahnya tidak ditelan…”.
b.
“Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan
darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya
maka tidak apa-apa…”.
c.
“Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat
yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan
membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal
puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka
orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau
karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan
darah yang keluar itu dengan sengaja.
Begitu
pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya
tidaklah batal puasanya.
Kecuali
bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya
lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam
(yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun
terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang
menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat.
Maka
bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari,
karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar.
Kecuali
dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari
dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan
Ramadhan.
5. Pengobatan yang
dilakukan melalui suntik
Pengobatan
yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik
tidak tergolong makanan atau minuman.
Berbeda
halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi
sebagai zat makanan.
Begitu
pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa
kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan.
Terdapat
perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan
sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan.
Namun
wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan
mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau
telinga tidaklah membatalkan puasa.
Meskipun
bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk
mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)
6. Mencium dan memeluk istri
Mencium
dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air
mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu
Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk
(istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang
paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam
kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan
tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan
jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari
perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau
minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
…
يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي …
“(orang
yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR.
Muslim)
Dan
juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى
مَا لاَ يُرِيْبُكَ
“Tinggalkan
hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan
An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)
7. memakai wewangian
Bagi
laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai
wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya,
maka tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya.
Juga
diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau
dibutuhkan.
Namun
dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan,
sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke
hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau
terhisap.
Namun
seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak
membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah
dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang
berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan
At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t
di Al-Irwa, hadits no. 935)
8. menyiram kepala dan
badannya dengan air
Diperbolehkan
bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk
mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan
selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi Makanan
Mencicipi
masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk
ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu
‘anhu dalam sebuah atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ
الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
“Tidak
apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan
membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa
no. 937)
Demikian
beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama.
Yang
paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam
syariat Islam ini.
Maka, kita tidak boleh
menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata.
Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan
penjelasan para ulama. Wallahu a’lam bish-shawaAda
sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin
seputar pembatal-pembatal puasa.
Di
antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara
para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan
tidak dibangun di atas dalil.
Melalui
tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap
sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian.
Keterangan-keterangan
yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan
-cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa
para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yang
bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1.
Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa,
dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya.
Begitu
pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan
sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang
pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak
puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui
hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan
karena terpaksa).”
Kemudian
beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang
menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا
إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya
Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena
tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits
yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu
pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum
kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa.
Maka
hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan
pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan
yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah apabila orang
tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu
a’lam.
Sehingga
orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu
yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan
membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh
Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah
Orang
yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya.
Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ
صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barang
siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia
untuk mengganti puasanya.
Dan
barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti
puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya,
dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)
Oleh
karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya
tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena
hal ini akan membatalkan puasanya.
Dan
jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi
dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut
tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3. Menelan ludah
Menelan
ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
“Tidak
mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam
hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat
memberatkan.
Adapun
dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan
tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu
memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Pengambilan darah
Keluar
darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun
dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh
Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:
a.
“Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar
darahnya tidak ditelan…”.
b.
“Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan
darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya
maka tidak apa-apa…”.
c.
“Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat
yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan
membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal
puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka
orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau
karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan
darah yang keluar itu dengan sengaja.
Begitu
pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya
tidaklah batal puasanya.
Kecuali
bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya
lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam
(yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun
terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang
menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat.
Maka
bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari,
karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar.
Kecuali
dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari
dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan
Ramadhan.
5. Pengobatan yang
dilakukan melalui suntik
Pengobatan
yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik
tidak tergolong makanan atau minuman.
Berbeda
halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi
sebagai zat makanan.
Begitu
pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa
kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan.
Terdapat
perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan
sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan.
Namun
wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan
mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau
telinga tidaklah membatalkan puasa.
Meskipun
bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk
mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)
6. Mencium dan memeluk istri
Mencium
dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air
mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu
Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk
(istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang
paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam
kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan
tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan
jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari
perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau
minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
…
يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي …
“(orang
yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR.
Muslim)
Dan
juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى
مَا لاَ يُرِيْبُكَ
“Tinggalkan
hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan
An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)
7. memakai wewangian
Bagi
laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai
wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya,
maka tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya.
Juga
diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau
dibutuhkan.
Namun
dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan,
sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke
hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau
terhisap.
Namun
seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak
membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah
dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang
berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan
At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t
di Al-Irwa, hadits no. 935)
8. menyiram kepala dan
badannya dengan air
Diperbolehkan
bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk
mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan
selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi Makanan
Mencicipi
masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk
ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu
‘anhu dalam sebuah atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ
الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
“Tidak
apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan
membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa
no. 937)
Demikian
beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama.
Yang
paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam
syariat Islam ini.
Maka, kita tidak boleh
menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata.
Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan
penjelasan para ulama. Wallahu a’lam bish-shawab.