Pertanyaan :
Utang
Biaya Perkawinan, Siapakah Harus Menanggung?
Saya
memberikan 10 juta sebagai mas kawin, tetapi dari pihak wanita memerlukan biaya
lebih untuk acara pernikahan.
Akhirnya
pihak wanita meminjam uang untuk menutupi kekurangannya. Yang saya tanyakan
apakah setelah menikah, utang tersebut menjadi tanggung jawab saya sebagai
suami?
Jawaban :
Terima
kasih atas pertanyaan Anda.
Kami
asumsikan yang Anda maksud dengan “pihak wanita” adalah calon istri/istri Anda
dan keluarganya.
Hukum
perkawinan di Indonesia yang secara umum diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (“UUP”) sendiri tidak menentukan siapa yang harus
menanggung biaya perkawinan.
Hal
ini bergantung pada kesepakatan antara Anda (dan keluarga) dan istri Anda (dan
keluarga). Jika tidak ada kesepakatan yang jelas, mengingat tujuan perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sebaiknya penyelesaian
utang acara perkawinan ini dibicarakan baik-baik dengan tetap mengutamakan asas
kekeluargaan dan saling membantu.
Jika
melihat pada ketentuan UUP, UUP hanya mengatur bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat (1) UUP).
Sedangkan
harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2)
UUP).
UUP
tidak mengatur mengenai utang bawaan ataupun utang bersama, termasuk utang yang
timbul karena acara pernikahan. Namun, jika mengacu pada pengaturan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yaitu Pasal 121, utang tersebut
dapat saja dianggap sebagai beban bersama suami istri dalam perkawinan.
Pasal 121 KUHPerdata
berbunyi sebagai berikut:
“Berkenaan
dengan beban-beban, maka harta bersama itu meliputi semua utang yang dibuat
oleh masing-masing suami istri, baik sebelum perkawinan maupun setelah
perkawinan maupun selama perkawinan.”
Terkait
utang, Prof. Subekti, S.H. menjelaskan dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata
(hal. 34), bahwa untuk menetapkan tanggung jawab mengenai suatu utang haruslah
ditetapkan lebih dahulu, apakah utang itu bersifat prive (pribadi) atau suatu
utang untuk keperluan bersama (gemeenschaps schuld).
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa untuk suatu utang prive (pribadi) harus dituntut kepada
suami atau istri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita
pertama-tama adalah benda prive (pribadi). Apabila tidak terdapat benda pribadi
atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita juga.
Oleh
karena itu, kecuali diperjanjikan lain atau ada hukum adat yang mengatur
sebaliknya, karena acara perkawinan tersebut adalah antara Anda dan istri Anda,
akan lebih baik jika Anda dan istri (beserta keluarga masing-masing) dapat
menyelesaikannya bersama.
Demikian
pandangan kami, semoga membantu.