Setelah
Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan penetapan hukum, sumber hukum yang ketiga
adalah ijtihad. Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya
bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan.
Ijtihad
dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara’ atau ketentuan
hukum yang bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan
aturan yang telah ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw.
Dalil
yang menegaskan kedudukan ijtihad sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang
artinya, ”Dari Mu‘az, bahwasanya Nabi Muhammad saw., ketika mengutusnya ke
Yaman bersabda sebagai berikut.
”Bagaimana
pendapat engkau jika suatu perkara diajukan kepadamu bagaimana engkau memutuskannya?”
Mu’az menjawab, ”Saya akan memutuskan menurut kitabullah (Al-Qur’an).”
Selanjutnya
Nabi saw. bertanya, ”Dan jika di dalam kitabullah, engkau tidak menemukan
sesuatu mengenai soal itu?” ”Jika begitu saya akan memutuskan menurut sunah
Rasulullah,” jawab ;Mu’az.
Nabi
saw. bertanya kembali, ”Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal
itu di dalam sunah Rasulullah?” Jawab Mu‘az, ”Saya akan berijtihad
mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ajtahidu ra’yi) tanpa bimbang
sedikit pun.
”
Selanjutnya Nabi saw. (sambil menepuk dada Muaz) berkata, ”Mahasuci Allah yang
memberikan bimbingan kepada ;utusan rasul-Nya dengan satu sikap yang disetujui
rasul-Nya.” (H.R. Abu- Dau-d dan Tirmiz.i - )
Hadis
dari Mu‘az bin Jabal di atas menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan rujukan
sumber dari segala sumber hukum Islam. Demikian juga halnya dengan hadis
Rasulullah.
Jika
pada kedua sumber tersebut tidak ditemukan ketentuan hukum secara konkret, kita
boleh berijtihad dengan akal sehat kita. Para ulama juga berpendapat bahwa
hasil ijtihad dapat digunakan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.