Adapun
hikmah shalat Tarawih ialah menguatkan, merilekskan dan menyegarkan jiwa serta
raga guna melakukan ketaatan. Selain itu, untuk memudahkan pencernaan makanan
setelah makan malam.
Sebab,
apabila setelah berbuka puasa lalu tidur, maka makanan yang ada dalam perut
besarnya tidak tercerna, sehingga dapat mengganggu kesehatannya dan membuat
jasmani menjadi lesu dan rusak.[7]
Yang
harus diperhatikan ada jeda yang cukup setelah makan besar, baik setelah berbuka
puasa atau setelah sahur dengan tidur.
Karenanya,
Rasulullah menganjurkan Ta’khir Sahur yakni makan sahur dilakukan mendekati
waktu subuh, agar setelah sahur langsung shalat Subuh tidak tidur lagi. Jadi,
bukan santap sahur pukul 02:00, lalu tidur lagi.
Alasannya,
sewaktu tidur tubuh menjadi sangat rileks, sehingga gerakan usus menjadi lambat
sekali, sedangkan kita makan sampai perut penuh. Jadi, metabolisme (proses
perputaran) pencernaan terganggu, karena makanan terus-menerus berada di dalam
usus.
Penulis
teringat ungkapan ulama yang pernah disebutkan oleh orang tua kami Abuya K.H
Saifuddin Amsir ketika beliau memberikan penjelasan Taqrir kitab Ta’lîm
al-Muta’allim karya Syaikh Burhanuddin al-Zarnûjiy sebagai berikut:
اِذَا تَغَـدَّيْتَ فَنَـمْ
, وَلَوْ عَلَـى رَأْسِ اْلغَنَمِ
وَاِذَا تَعَشَّيْتَ فَـدُرْ
, وَلَوْ عَلَـى رَأْسِ الْجُـدُرِ
Artinya:
”Apabila engkau makan siang maka boleh engkau tidur setelahnya sekalipun di
atas kepala kambing, dan apabila engkau makan malam maka berjalan/berkelilinglah
sekalipun di atas tembok (jangan langsung tidur).”
Syaikh
Ali Ibn Ahmad al-Jurjâwiy (W. 1340 H/1922 M) salah seorang tokoh ulama
al-Azhar, Kairo; Mesir, dalam sebuah kitabnya yang bernama Hikmah al-Tasyrî’ Wa
Falsafatuhu mengatakan:
”Telah
banyak doktor dari negara barat yang mengatakan bahwa umat Islam yang menjalani
ibadah puasa dengan shalat-shalat yang biasa mereka kerjakan setelah shalat
Isya telah membuat mereka terhindar dari aneka penyakit yang hampir
membahayakan mereka.
Mr.
Edwar Leeny mengatakan:” Suatu hari saya diundang makan dalam acara buka puasa
oleh salah seorang saudagar muslim yang sukses. Saya melihat banyak di antara
mereka menyantap hidangan yang tersedia dengan lahap dan sangat banyak
sehingga, saya berkeyakinan bahwa mereka pasti akan mengalami gangguan
pencernaan pada perut mereka.
Kemudian
waktu datang waktu Isya mereka berbondong-bondong mengerjakan shalat Isya dan
dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Seketika melihat itu, saya menyimpulkan dan
berkeyakinan bahwa gerakan-gerakan yang mereka lakukan di saat mengerjakan
shalat sangat bermanfaat dalam mengembalikan tenaga dan semangat serta
menghindari mereka dari berbagai macam penyakit yang mengancam mereka.
Dari
situlah saya yakin bahwa agama Islam memang benar-benar bijaksana dalam
Syariatnya”. Hasan Ibn Ahmad al-Kaf, al-Taqrirat al-Sadidah Fi Masail
al-Mufidah, vol. 1 (Dar al-Ulum: Surabaya 2004) h. 287.Al-Hafiz Abdullah
al-Harariy, Bughyah al-Thâlib Lima’rifah al-Ilm al-Diniy al-Wajib, vol. 1 (Dar
al-Masyari’ 2004) h. 281.
Hadis
di atas diriwayatkan oleh Imam al-Bukhariy, Imam Muslim, Imam Tirmidziy, Imam
Ahmad, Imam Ibn Abi Syaybah, Imam al-Bayhaqiy, Imam Hakim, Imam al-Thabaraniy,
Imam Ibn Hibban dan lain-lain.
Lihat:
Hasyiyah al-Fawâkih al-Dawâniy Alâ Risâlah Abi Zayd al-Qayrawâniy, vol. 3
(Beirut: Dâr al-Fikr tt) h. 464; Hasyiyah al-Adawiy Ala Syarh Kifâyah al-Thâlib
al-Rabbâniy, vol. 3 (Beirut: Dâr al-Fikr tt) h. 442; Abdurrahman al-Jazîriy,
Kitâb al-Fiqh Ala al-Madzâhib al-Arba’ah, vol. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr 2002) h.
290; Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuh, vol. 2 (Beirut: Dar
al-Fikr 1989) h. 65-73.
Bagi
anda yang ingin mengetahui lebih luas penjelasan argumen para ulama secara
terperinci terkait masalah tersebut, silahkan anda merujuk risalah:
الجــواب الصحيح لمن صلى
أربعا بتسليمة من التراويــح, yang telah kami cetak pertama kali pada
tanggal 12 Rabiul Awwal 1430 H bertepatan dengan tanggal 9 Maret 2009 M.
[1]Ahmad
Ibn Ali Ibn Hajar al-A’sqallâniy, Fath al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy, vol. 4
(Beirut: Dâr al-Fikr 2000) h. 778.[2] Abu Zakariyyâ Yahyâ Ibn Syarf Nawawiy
al-Dimasyqiy, al-Minhâj Fi Syarh Muslim Ibn Hajjâj, vol. 6 (Beirut: Dâr al-Fikr
200) h. 34.[3] Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-A’sqallâniy, Fath al-Bâriy Syarh
al-Bukhâriy, vol. 4 h. 779.
[4]
Muhammad Ibn Ismâîl al-Shan’âniy, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, vol. 2
(Beirut: Dâr al-Fikr 1991) h. 22.[5] Yusuf Ibn Ibrahim al-Ardabiliy, al-Anwar
Li A’mal al-Abrar, vol. 1 (Mathbaah al-Jamaliyyah 1910) h. 80.[6] Umar Ibn
Muzhaffar Ibn Wardiy, Bahjah al-Hâwiy, ((Beirut: Dâr al-Fikr 1994) h. 31[7]
Muhammad Ilyas Marwal, Kritik atas pembid’ahan Shalat Tarawih 20 rakaat,
(Jakarta: Pustaka Firdaus 2008) h. 24.
[8]
Ali Ibn Ahmad al-Jurjâwiy, Hikmah al-Tasyrî’ Wa Falsafatuhu, vol. 1 (Jedah:
al-Harâmayn t.t) h. 150.
G.
Jumlah Rakaat Dan Cara Mengerjakan Shalat Tarawih Para ulama berbeda pendapat
tentang jumlah rakaat shalat Tarawih.
Al-Habib
Zayn Ibn Ibrahim Ibn Sumayt berpendapat bahwa jumlah rakaat Shalat Tarawih
minimal 2 rakaat. Maksimalnya 20 rakaat. Dikerjakan khusus pada setiap malam
bulan Ramadhan, baik secara sendiri-sendiri ataupun berjamaah, tetapi lebih
afdhal shalat Tarawih dikerjakan secara berjamaah.
[2]Sedangkan
menurut al-Hafizh Syaikh Abdullah al-Harariy berpendapat bahwa: ”Shalat Tarawih
adalah bagian dari Qiyam Ramadhan. Siapa yang berniat mengerjakan Shalat
Tarawih tidak boleh kurang atau lebih dari 20 rakaat.
Dengan
alasan Tarawih merupakan sebuah istilah yang telah terdefinisi dengan jelas,
sebagai shalat yang dikerjakan oleh para sahabat di zaman Sayidina Umar Ibn
Khatthab khusus pada bulan Ramadhan dengan 20 rakaat, 10 kali salam. Adapun
bila seseorang berniat mengerjakan shalat Qiyam Ramadhan, maka tidak ada
batasan rakaatnya. Artinya, boleh kurang atau lebih dari 20 rakaat.
[3]Khusus
bagi penduduk kota Madinah boleh mengerjakan shalat Tarawih lebih dari 20
rakaat. Sedangkan jumlah rakaat shalat Qiyam Ramadhan tidak ada batasan yang
signifikan (berarti penting) dalam bilangan rakaatnya.