Sinapu
Online_ Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA
Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran
Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah
shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan
prajurit secara serentak di balai istana.
Semua
punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan
permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh
organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal.
Kemudian
instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang
pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama [3]
Halal
bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di
kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal
bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam
di tengah masyarakat Indonesia [4].
Namun
dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena
semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan
keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan mencoreng
kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal
bi halal menurut pandangan syariat.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal
bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fithri yang juga
umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan
tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.