Sinapu
Online_ Di satu sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di
sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan ‘id,
seperti bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan berpakaian,
atau permainan apa yang boleh dilakukan. Syari’at Islam merujuk perkara ini
kepadaadat dan tradisi masing-masing.
Jadi,
boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling berkunjung dan
mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu ditekankan agar anggota keluarga
merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya, sehingga mereka tidak tergoda
lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak ada dasarnya dalam Islam.
Namun
mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan membutuhkan dalil
tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau berhias yang
memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang
membutuhkan dalil.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah melakukannya,
padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka.
Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang
yang paling bersemangat untuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang
lain. Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat mereka mengkhususkan hari
tertentu untuk bermaaf-maafan.
Jadi,
mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah penambahan syariat baru
dalam Islam tanpa landasan dalil.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata.
فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ
الْمُقْتَضِي لِفعْلِه عَلَىَ عَهْدِ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم مَوْ جُوْداًلَوْ
كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ، يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ
Maka
setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu (betul-betul) merupakan sebuah
kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) beliau tidak melakukannya, berarti bisa
diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan.