Pertanyaan :
Hak
Istri Atas Gaji Suami
Bila
sepasang suami istri bertengkar, kemudian istri pergi meninggalkan suaminya
tanpa berita/pemberitahuan apapun maka:
1)
Jika
suami tidak memberikan nafkah/bagian gaji kepada istri (biasanya transfer via
rekening bank) apakah diperbolehkan menurut hukum perkawinan?;
2)
Jika
dalam satu waktu tertentu kemudian istri menuntut nafkah/bagian dari gaji
kepada suami, apakah suami dibenarkan oleh hukum untuk tidak memberikan
nafkah/bagian gaji kepada istri?;
3)
Jika
Istri meminta cerai apakah suami bisa tidak mengabulkannya?;
4)
Jika
Istri tidak pulang kepada suami, apakah boleh menurut hukum si suami menikah
lagi?;
5)
Jika
si istri mengajukan cerai, bagamana status harta gono-gini padahal harta masih
merupakan kredit dari bank dan masih dalam proses angsuran?;
6)
Apakah
istri berhak atas harta yang diperoleh dari pinjaman bank padahal uang yang
digunakan untuk membayari angsuran rumah dan mobil selama ini bersumber dari
gaji suami mengingat si istri tidak memiliki pekerjaan dan si suami
mengatasnamakan rumah dan mobil tersebut atas nama istri yang minggat tanpa
berita tersebut. Atas masukannya diucapkan terima kasih.
Jawaban :
1.
Sebelumnya,
saya akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai Perkawinan menurut UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Di
dalam Pasal 30 UUP yang mengatur tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri,
disebutkan bahwa “…Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat…”. Kemudian,
Pasal 34 ayat (1) UUP mengatur bahwa “…Suami wajib melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya…”
Jadi,
suami wajib memberikan segala sesuatu termasuk nafkah bagi istrinya untuk hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuan suami, namun apabila si istri
meninggalkan suami tanpa ada berita/pemberitahuan apapun kepada suami, maka
suami atau istri telah melalaikan kewajibannya masing-masing, dan si suami atau
istri dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Pasal
34 ayat (3) UUP mengatur bahwa ”…Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya
masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan…”.
2.
Selama
suami istri masih terikat dalam suatu perkawinan yang sah, dan belum adanya
Putusan Pengadilan yang menyatakan perkawinan suami istri putus karena
perceraian, maka suami wajib memberikan segala seuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 34 ayat (1)
UUP.
3.
Apabila
di kemudian hari si istri meminta cerai, maka permintaan cerai si istri harus
melalui Pengadilan (Pengadilan Agama bagi yang muslim, dan Pengadilan Negeri
untuk non-muslim) dengan mengajukan Gugatan cerai kepada si suami. Pasal 19 PP
No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(“PP No. 9 Tahun 1975”) menyebutkan:
Perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a.
Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan ;
b.
Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya ;
c.
Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung ;
d.
Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain ;
e.
Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri ;
f.
Antara
suami dan istri terus-menerus terjadi pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Jadi,
alasan istri untuk meminta cerai harus memenuhi salah satu dari alasan-alasan
perceraian yang telah dikemukakan di atas, itulah alasan-alasan untuk
mengajukan perceraian di Pengadilan. Ketentuan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975,
menyebutkan “…Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang Pengadilan…”
4.
Apabila
si istri tidak pulang kepada suami atau pergi tanpa pemberitahuan kepada suami,
maka secara hukum si suami berhak mengajukan gugatan perceraian kepada istri
dengan alasan-alasan perceraian yang diatur di dalam Pasal 19 hruf b PP No. 9
Tahun 1975 yang berbunyi “…Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya…”
Sehingga
apabila si istri pergi meninggalkan suami selama 2 (dua) tahun berturut-turut,
maka alasan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan
perceraian ke Pengadilan.
Ketentuan Pasal 3 UUP
menyebutkan;
1.
Pada
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.
Pengadilan,
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Jadi,
apabila suami ingin menikah lagi, maka si suami terlebih dahulu harus meminta
izin kepada pihak-pihak yang bersangkutan dalam hal ini istri, sebelum
Pengadilan memberikan izin untuk menikah lagi pada si suami, tanpa izin dari
pihak istri dan pihak-pihak yang bersangkutan, Pengadilan tidak memberikan izin
kepada suami untuk menikah lagi.
5.
Mengenai
perolehan harta benda benda di dalam Perkawinan diatur di dalam Pasal 35 UUP
yang menyebutkan:
(1) Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan
istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Sehingga
apabila harta tersebut masih merupakan kredit dari bank, dan diperoleh selama
perkawinan, maka tetap harta tersebut harta milik bersama (suami istri) dan
apabila terjadi perceraian, maka segala hutang atas harta bersama tersebut,
menjadi tanggung jawab suami dan istri tersebut.
6.
Selama
harta tersebut diperoleh dalam perkawinan, maka suami istri tersebut berhak
atas harta tersebut walaupun si istri tidak bekerja, serta rumah dan mobil atas
nama si istri, dan apabila terjadi perceraian, maka harta yang diperoleh selama
perkawinan akan dibagi berdasarkan undang-undang dan putusan pengadilan.
Demikian
penjelasan dari kami, semoga dapat membantu permasalahan Anda. Terima kasih.